BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Pada
1963, Delseboro mendefinisikan “child abuse” adalah seorang anak yang mendapat perlakuan
badani yang keras, yang dikerjakan sedemikan rupa sehingga menarik perhatian
suatu badan dan menghasilkan pelayanan yang melindungi anak tersebut.
Fontana pada tahun 1971 membuat
definisi yang lebih luas dari “child abuse”, dimana termasuk malnutrisi dan melantarkan anak
sebagai stadium awal dari syndrome perlakuan salah, dan penganiayaan fisik
berada pada stadium akhir yang paling berat dari spectrum perlakuan salah oleh
orang tuanya/pengasuhnya.
Sedangkan seorang seorang ahli
sosiologi David Gil (1973), mengatakan bahwa “child abuse” adalah setiap tindakan yang mempengaruhi
perkembanagn anak, sehinga tidak optimal lagi.
Dalam
bidang kedokteran, “child abuse” pertama kali dilaporkan oleh Ambroise Tardieu
dari Perancis pada tahun 1860, dari hasil otopsi dari 32 anak yang meniggal
dengan kecurigaan akibat perlakuan salah. Kemudian Caffey 1946, pada makalahnya
tentang seorang anak yang dilaporkan menderita patah tulang yang multiple dan
subdural hematom sebagai akibat perlakuan salah dari orang tua. Selanjutnya
pada tahun 1957, Caffey melaporkan lagi hal yang sama tetapi pada anak yang
lain (dikutip dari Dogramaci Ihsan, 1990).
Pada atahun 1961 Henry Kempe
(dikutip dari snyder, 1983) mengorganisir seminar pertama mengenai “the battered child syndrome”. Pada tahun 1962 beliau menulis
artikel dengan judul yang sama pada Journal Of The American Medical Association,
dimana beliau melaporkan berapa kasus anak dibawah umur 3 tahun yang
ditelantarkan, adanya bekas-bekas trauma fisik, dan adanaya pertentanagan
antara bekas-bekas trauma fisik dengan keterangan yang diberikan oleh orang
tuanya.
Sangat sukar dipercaya, bahwa ada
orang tua yang melakukan penganiayaan terhadap anaknya sampai perlu dirawat di
Rumah Sakit atau bahkan ada sampai meninggal dunia. Hal ini dapat disebabakan
karena orang tua tersebut kurang dewasa dalam control dirinya dan sangat
impulsive dalam bertindak. Tetapi untunglah untuk anak-anak macam begini,
beberapa Negara mempunyai hokum yang dibuat untuk melindungi mereka, walaupun
masih terdapat kelemahan-kelemahan. PBB juga tidak tinggal diam. PBB telah
memproklamasikan bahwa anak-anak berhak atas perawatan dan bantuan khusus.
Hampir 3 juta kasus penganiayaan fisik dan
seksual pada anak terjadi pada tahun 1992. Sebanyak 45 dari setiap 100 anak
dapat mengalami penganiayaan. Lebih dari 100 anak meninggal setiap tahunnya
karena penganiayaan dan pengabaian. Penganiayaan seksual paling sering terjadi
pada anak perempuan, keluarga tiri, anak-anak yang tinggal dengan satu orang
tua atau pria yang bukan keluarga.
Di Indonesia ditemukan 160 kasus
penganiayaan fisik, 72 kasus penganiayaan mental dan 27 kasus penganiayaan
seksual (diteliti oleh Heddy Shri Ahimsa Putra, tahun 1999). Sedangkan menurut
YKAI didapatkan data pada tahun 1994 tercatat 172 kasus, tahun 1995 meningkat
menjadi 421 kasus, dan tahun 1996 menjadi 476 kasus. Angka kekerasan
terhadap anak tahun 2011 meningkat dibanding tahun 2010. Sepanjang tahun 2011,
Komnas Anak telah mencatat 2.508 kasus kekerasan terhadap anak. Angka ini
meningkat dibandingkan tahun 2010, yang 2.413 kasus.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana klasifikasi child abuse?
2. Apa faktor resiko dari child abuse?
3. Apa akibat child abuse?
4. Apakah contoh nyata perilaku salah
pada anak?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui klasifikasi child
abuse.
2. Untuk mengehatuhi Factor resiko dari
child abuse.
3. Untuk memahami Akibat dari child
abuse.
4. Untuk
mengetahui contoh dari prilaku salah pada anak.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Klasifikasi Child Abuse
Perlakuan salah
terhadap anak, dibagi menjadi dua golongan besar, yaitu :
1. Dalam
keluarga :
- Penganiayaan fisik
Yaitu cedera fisik
sebagai akibat hukuman badan diluar batas, kekecaban atau pemberian racun.
- Kelalaian/pelantaran anak
Kelalaian
ini selain tidak sengaja, juga akibat dari ketidaktahuan atau kesulitan
ekonomi.
Bentuk
kelalaian ini anatara lain yaitu :
1) Pemeliharaan
yang kurang memeadai, yang dapat mengakibatkan gagal tumbuh, anak merasa
kehilangan kasih sayang, gamgguan kejiwaan, keterlambatan perkembangan.
2) Pengawasan
yang kurang, dapat menyebabakan anak mengalami resiko untuk terjadinya trauma
fisik dan jiwa.
3) Kelalaian
dalam mendapatkan pengobatan meliputi: kegagalan merawat anak dengan baik
misalnya imunisasi, atau kelalaian dalam mencari pengobatan sehingga
memperburuk penyakit anak.
4) Kelalaian
dalam pendidikan meliputi kegagalan dalam mendidik anak untuk mampu berintraksi
dengan lingkungannya, gagal menyekolahkannya atau menyuruh anak mencari nafkah
untuk keluarga sehingga anak terpakasa putus sekolah.
- Penganiayan emosional
Ditandai dengan kecaman
kata-kata yang merendahkan anak, atau tidak mengakui sebagai anak. Keadaan ini
sering sekali berlanjut dengan melalaikan anak, mengisolasikan anak dari
lingkungannya/hubungan sosialnya, atau menyalahkan anak secara terus menerus.
Penganiayaan emosi seperti ini umumnya selalu diikuti bentuk penganiayaan lain.
- Penganiayaan seksual
Mengajak anak untuk
melakukan aktivitas seksual yang melanggar norma-norma social yang berlaku di
masyarakat, dimana anak tidak memahami/tidak bersedia. Aktivitas seksual dapat
berupa semua bentuk oral genital, genital anal, atau sodomi. Penganiayaan
seksual ini juga termasuk incest yaitu penganiayaan seksual oleh orang yang
masih ada hubungan keluarga.
- Sindrom munchausen
Sindrom Munchausen adalah
gangguan mental yang serius di mana seseorang memiliki kebutuhan mendalam atas
perhatian orang lain dengan cara berpura-pura sakit atau terluka dengan
disengaja. Penderita sindrom ini bisa membuat-buat gejala sakit, ingin
melakukan operasi, atau mencoba mencurangi hasil tes laboratorium untuk meraih
simpati.
2. Diluar
keluarga :
a. Dalam
institusi/lembaga
Misalnya disekolah anak
mendapatkan kekerasan oleh tenaga didiknya.
b. Di
tempat kerja
Misalnya anak dibawah
umur yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga, mendapatkan kekerasan oleh
majikannya karena kesalahan yang tidak berarti.
c. Di
jalan
Sering ditemui anak-anak
dijalanan mendapatkan kekerasan baik berupa fisik maupun psikis. Anak kerap
mendapatkan insiden pengeniayaan dan penculikan di jalanan.
d. Di
medan perang
B. Faktor Resiko Dari Child Abuse
Menurut
Delsboro (1983), perlakuan salah terhadap anak adalah sebagai akiabat dari
pelepasan tujuan hidup orang tua,
hubungan orang tua dan anak tidak lebih dari hubungan biologi saja. Kehidupan
orang tua sebagian besar diliputi pelanggaran hukum, penyalahgunaan penghasilan,
pengusiran berulang, pengguanan alcohol yang berlebihan, dan keadaan rumah yang
menyedihkan. Orang tua seperti ini kelihatannya tidak mampu menolong dirinya
sendiri. Mereka menganiaya anaknya seolah-olah sebagai pelampiasan rasa
frustasinya, ketidak tanggung jawabannya, ketidak berdayaannya dan sebagainnya.
Menurut Bittner dan Newberger
(1983), perlakuan salah pada anak disebabkan factor-faktor multidimensi.
Menurut Bittner pada bayi premature, perawatannya lebih sulit, menangis lebih
sering dan membuat orang tua frustasi, sehinnga mempunyai factor resiko lebih
banyak untuk mendapat perlakuan salah dari orang tuanya.
Menurut Helfer dan Kempe dalam Pillitery ada 3 faktor yang
menyebabkan child abuse, yaitu:
1. Orang tua memiliki potensi untuk melukai
anak-anak. Orang tua yang memiliki kelainan mental, atau
kurang kontrol diri daripada orang lain, atau orang tua tidak memahami tumbuh
kembang anak, sehingga mereka memiliki harapan yang tidak sesuai dengan keadaan
anak. Dapat juga orang tua terisolasi dari keluarga yang lain, bisa isolasi
sosial atau karena letak rumah yang saling berjauhan dari rumah lain, sehingga
tidak ada orang lain yang dapat memberikan support kepadanya.
2. Menurut pandangan orang tua anak
terlihat berbeda dari anak lain. Hal ini dapat terjadi pada anak yang tidak
diinginkan atau anak yang tidak direncanakan, anak yang cacat, hiperaktif,
cengeng, anak dari orang lain yang tidak disukai, misalnya anak mantan
suami/istri, anak tiri, serta anak dengan berat lahir rendah(BBLR). Pada anak
BBLR saat bayi dilahirkan, mereka harus berpisah untuk beberapa lama, padahal
pada beberapa hari inilah normal bonding akan terjalin.
3. Adanya kejadian khusus : Stress. Stressor yang terjadi bisa jadi
tidak terlalu berpengaruh jika hal tersebut terjadi pada orang lain. Kejadian
yag sering terjadi misalnya adanya tagihan, kehilangan pekerjaan, adanya anak
yang sakit, adanya tagihan, dll. Kejadian tersebut akan membawa pengaruh yang
lebih besar bila tidak ada orang lain yang menguatkan dirinya di sekitarnya
Karena stress dapat terjadi pada siapa saja, baik yang mempunyai tingkat sosial
ekonomi yag tinggi maupun rendah, maka child abuse dapat terjadi pada semua
tingkatan.
C. Akibat Child Abuse
1. Akibat
pada fisik anak
a. Lecet,
hematom, luka bekas gigitan, luka bakar, patah tulang, perdarahan retina akibat
dari adanya subdural hematom, dan adanya kerusakan organ dalm lainya.
b. Sekuele/cacat
sebagai akibat trauma misalnya jaringan parut, kerusakan saraf, gangguan
pendengaran, kerusakan mata dan cact lainya.
c. Kematian
Beberapa penelitian
mengatakan bahwa anak yang mengalami perlakuan salah secara badani, ada
kecendrungan untuk terus mengalaminya berulang-ulang kalau tidak dilakuakan
secara intervensi.
2.
Akibat pada tumbuh kembang anak
Pertumbuhan dan perkembangan anak yang mengalami perlakuan salah, pada
umumnya lebih lambat dari anak yang normal, yaitu :
a. Pertumbuhan
fisik anak pada umumnya kurang dari anak-anak sebayanya yang tidak mendapatkan
perlakuan salah. Tetapi Oates dkk. 1984, mengatakan bahwa tidak ada perbedaan
yang bermakna dalm tinggi badan dan berat badan dengan anak yang normal.
b. Perkembangan
kejiwaan juga mengalami gangguan, yaitu :
1)
Kecerdasan
a)
Berbagai penelitian melaporkan terdapat keterlambatan
dalam perkembangan kognitif, bahasa, membaca dan motorik.
b)
Retardasi mental dapat disebabkan trauma langsung pada
kepala, juga karena malnutrisi.
c)
Pad beberapa kasus keterlambatan ini diperkuat oleh
lingkunagan anak, dimana tidak adanya stimulasi yang adekuat atau karena
gangguan emosi.
2) Emosi
a)
Untuk mengetahui akibat emosional pada anak yang
mendapat perlakuan salah, perlu anamnesis yang lengkap dari keluarga, termasuk
informasi berapa orang dewas yang ada di rumah, bagaimana hubungan
masing-masing dengan anak tersebut, rencana perawatan anak, kejadian terakhir
yang menimpa orang tua yang memelihara anak tersebut.
b)
Terdapat gangguan emosi pada : perkembangan konsep diri
yang positif, dalam mengatasi sifat agresif, perkembangan hubungan social
dengan orang lain, termasuk kemampuan untuk percaya diri.
c)
Terjadi pseudomaturitas emosi. Beberapa anak menjadi
agresif atau bermusuhan dengan oarng dewasa, sedang yang lainnya menarik
diri/menjauhi pergaulan. Anak suka ngompol, hiperaktif, prilaku aneh,
kesuliatan belajar, gagal sekolah, sulit tidur, temper tantrum dan sebagainya.
3) Konsep
diri
Anak yang mendapatkan
perlakuan salah merasa dirinya jelek, tidak dicintai, tidak dikehendaki, muram
dan tidak bahagia, tidak mampu ,menyengi aktifitas dan bahkan ada yang mencoba
bunuh diri.
4) Agresif
Anak yang mendapat
perlakuan salah secara badani, lebih agresif terhadap teman sebayanya. Sering
tindakan agresif tersebut meniru tindakan orang tua mereka atau mengalihkan
perasaan agresif kepada teman sebayanya sebagai hasil miskinnya konsep diri.
5) Hubungan
social
Pada anak-anak ini
sering kurang dapat bergaul dengan teman sebayanya atau dengan orang dewasa. Mereka
mempunyai sedikit teman dan suka menggangu orang dewasa misalnya dengan
melempari batu, atau perbuatan-perbuatan criminal lainnya.
3. Akibat
dari penganiayaan seksual
Tanda-tanda penganiayaan seksual antara lain adalah :
a. Tanda akibat trauma atau infeksi loka,
misalnya nyeri perineal, secret vagina, nyeri dan perdarahan anus
b. Tanda
gangguan emosi, misalnya konsentrasi berkurang, enuresis, enkopresis, anoreksia
atau perubahan tingkah laku.
c. Tingkah laku atau pengetahuan seksual anak
yang tidak sesuai dengan umurnya. Pemeriksaan alat kelamin dilakuakn dengan
memperhatikan vulva, hymen dan anus anak.
D. Contoh Nyata Perlakuan
Child Abuse pada Anak
Negara Indonesia
sudah mempunyai ketentuan pidana bagi pelaku kekerasan fisik terhadap anak (UU
No.23/2002). Setiap orang yang melakukan kekejaman, kekerasan atau ancaman
kekerasan atau penganiayaan terhadap anak, dipidana dengan pidana penjara 3
tahun 6 bulan atau denda paling besar tujuh puluh dua juta rupiah. Demikian
bunyi pasal 80 ayat 1 UU No.23/2002). Sedangkan untuk ayat 2 UU No.23/2002,
apabila mengalami luka berat, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama
5 tahun dan atau denda paling banyak seratus juta rupiah.
Berikut ini adalah salah satu contoh kasus
kekerasan fisik pada anak.
Kasus:
Sinta (31thn) sering menghukum‘kenakalan; anaknya yang bersusia 5 tahun yang
bernama Gisel. Bentuk kenakalan itu antara lain, yang paling membuat ibunya
marah adalah menaruh kotoran seperti pasir diatas makanan, selalu menganggu dan
berlaku kasar kepada adiknya “Kalau anak saya nakal seperti menaruh kotoran
diatas makanannya dan sering menganggu adiknya saya akan siram dengan air panas
dan memukulinya”. Menurut Sinta anak harus di hukum supaya tidak melakukan hal
tersebut dan tidak mengulanginya. Karena Sinta tak ingin dimarah oleh suaminya
karena tidak mampu mengurus dan mendidik anak.
Dampak fisik : Memar, luka bakar akibat disiram air panas, patah tulang
terutama di daerah rusuk dan gangguan-gangguan di bagian tubuh lain seperti
kepala, perut, pinggul, kelak akan dibawa anak
di usia selanjutnya.
Dampak emosi:
1.
Merasa terancam, tertekan, gelisah dan cemas.
2.
Membangun pemahaman bahwa memukul dibenarkan untuk
memberi disiplin. Diusia dewasa, anak akan menggunakan pendekatana kekerasan
untuk mendisiplinkan anak.
Orang tua
diharapkan:
1.
Konsultasi pada psikologi untuk latihan mengelola
emosi, menggali masalah suami siteri yang tidak selesai dan mempelajarai
perkembangan anak.
2.
Ajak anak ke dokter untuk memeriksakan kondisi fisik.
3.
Pahami perkembangan anak. Di usia 5 hingag 8 tahun,
anak sedang berada pad atahap ingin menunjukkan kemampuan, mereka ingin
berekreasi. Tidak semua tindakan anak merupakan kenakalan, mereka tidak tahu
bahwa tingkah lakunya salah atau kurang tepat.
Bantuan untuk
anak:
1.
Pemeriksaan psikologis oleh psikolog untuk mengetahui
gangguan emosi yang dialaminya dan mendapat terapi yang sesuai.
2.
Tumbuhkan kemabli rasa percaya diri anak. Terimalah apa
yang mereka lakukan dengan tidak lupa memberitahu tindakan apa yang seharusnya
dilakukan.
3.
Bila orang tua bukan pelaku kekerasan, yakinkan anak
bahwa ia sangat dicintai.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Child
abuse adalah seorang anak yang mendapat perlakuan badani yang keras, yang
dikerjakan sedemikan rupa sehingga menarik perhatian suatu badan dan
menghasilkan pelayanan yang melindungi anak tersebut. Kekerasan pada anak
sangat tidak dianjurkan karema dapat berdampak pada fisik anak maupun psikis
anak. Kekerasan juga dapat mengakibatkan lukafisik, hingga kematian pada anak.
DAFTAR PUSTAKA
Suhada, Irwan. 2011. (Dalam:http://www.scribd.com/doc/79932750/Perlakuan-Salah-Pada-Anak).
Diakses pada tanggal 22 Mei 2012
Anonim. 2009. (Dalam: http://nursecerdas.wordpress.com/2009/02/16/child-abuse/).
Diakses pada 21 Mei 2012
Racebook - Dr. D.C. - DRMCD
BalasHapusRacebook. Find and enjoy the best 광주 출장안마 sports betting experience 경주 출장안마 in the 김천 출장샵 D.C. or just one 영주 출장안마 of the other sports and entertainment destinations 과천 출장마사지 in Washington, D.C. or